Pelangi Tuhan

 PELANGI


(Busur Perjanjian Allah)

 

Ditulis oleh: Pnt. Drs. Beltasar Pakpahan, GKPI Padang Bulan, Medan

 

“Busur-Ku Kutaruh di awan, supaya itu menjadi tanda perjanjian antara Aku dan bumi. Apabila kemudian Kudatangkan awan di atas bumi dan busur itu tampak di awan, maka Aku akan mengingat perjanjian-Ku yang telah ada antara Aku dan kamu serta segala makhluk yang hidup, segala yang bernyawa, sehingga segenap air tidak lagi menjadi air bah untuk memusnahkan segala yang hidup. Jika busur itu ada di awan, maka Aku akan melihatnya, sehingga Aku mengingat perjanjian-Ku yang kekal antara Allah dan segala makhluk yang hidup, segala makhluk yang ada di bumi” (Kejadian 9:13-16).

 


PERJANJIAN DALAM KITAB SUCI

Kejadian 9:13-16 berkenaan dengan apa yang umum disebut kalangan theolog “Perjanjian Nuh”. Memang, konsep perjanjian merupakan tema yang menonjol dalam Perjanjian Lama. Kalau kita melakukan eksegesis terhadap Kitab Suci bahasa Ibrani, untuk konsep perjanjian ini selalu digunakan kata “beriyth”, sebuah istilah luas yang berarti persetujuan atau perjanjian antara dua pihak, termasuk perjanjian antara sesama teman (1 Sam. 18:3) dan antara sesama penguasa (1 Raj. 5:12).

Septuagint menggunakan kata diathēkē sebagai terjemahan dari beriyth, yang juga berbicara tentang transaksi atau kesaksian hukum. Sedangkan bahasa Latin menggunakan kata pactum (bahasa Inggris “pact”) yang berbicara tentang perjanjian atau kontrak hukum. Semua kata ini lebih kuat daripada sekedar perjanjian umum, aliansi atau ikatan, terlebih lagi bila menyangkut perjanjian Allah 

Perjanjian dalam Kitab Suci adalah transaksi hukum permanen yang dibuat Allah dengan orang-orang tertentu yang juga berlaku sampai kepada keturunan mereka. Kitab Suci menyatakan beberapa perjanjian, yaitu:

   §  Perjanjian Nuh (Kej. 9:9-17)
§  Perjanjian Abraham (Kej. 12:1-3; 13:14-17; 17:1-22; 22:16-18; bdk. Gal. 3:8)
§  Perjanjian Musa (Kel. 20:1-17; 21:1-31:18)
§  Perjanjian Daud (2 Sam. 7:4-17)
§  Perjanjian baru (Yer. 31:31-32; Ibr. 7:18-19, 22; 8:6-12).

Perjanjian Nuh yang dinyatakan dalam Kejadian 9:8-17, yang juga disebut sebagai “Perjanjian Kekal” (ay. 16), adalah janji tanpa-syarat Allah bahwa Dia tidak akan pernah lagi memusnahkan bumi dengan air bah, terlepas dari betapapun jahatnya manusia itu kelak dan  bahwa Dia akan tetap menyokong ritme dan keseimbangan bumi bagi generasi demi generasi secara “turun temurun” (ay. 12). Dengan kata lain, Perjanjian Nuh akan berlaku selamanya dan mencakup “segala makhluk yang hidup, segala yang bernyawa” (ay. 15): manusia, burung-burung, ikan-ikan, binatang peliharaan dan binatang liar. Janji yang dinyatakan Allah kepada Nuh ini jelas akan menciptakan kedamaian pikiran bagi manusia karena sifatnya yang turun temurun. Manusia dapat menikmati hidup tanpa rasa takut setiap kali hujan mulai turun kalau-kalau dunia mungkin dimusnahkan kembali oleh air bah.

Juga perlu dicatat bahwa Allah menggunakan ungkapan “segala makhluk yang hidup” sebanyak empat kali dalam nas ini (ay. 10, 12, 15, 16). Signifikansinya akan dengan mudah kita abaikan kalau kita tidak memperhatikan Wahyu 4:6-7, di mana Yohanes mendapat penglihatan tentang takhta Allah dan empat “makhluk” yang tidak biasa di depan takhta sambil menyembah Allah: “Dan di hadapan takhta itu ada lautan kaca bagaikan kristal; di tengah-tengah takhta itu dan di sekelilingnya ada empat makhluk penuh dengan mata, di sebelah muka dan di sebelah belakang. Adapun makhluk yang pertama sama seperti singa, dan makhluk yang kedua sama seperti anak lembu, dan makhluk yang ketiga mempunyai muka seperti muka manusia, dan makhluk yang keempat sama seperti burung nasar yang sedang terbang”. Ke empat kategori inilah yang mencakup seluruh kehidupan makhluk di atas bumi, yang meliputi: binatang-binatang liar, lembu-sapi, manusia dan burung-burung. Ini bukan hanya menunjukkan bahwa seluruh makhluk hidup bersembah-sujud di hadapan Allah, tetapi juga bahwa Allah memperhatikan ciptaan-Nya. Dia tidak pernah sesaatpun melupakan ciptaan-Nya dari awal (Kejadian) sampai akhir (Wahyu).

Untuk memeteraikan perjanjian dengan ciptaan-Nya ini, Allah memberikan tanda, sesuatu yang juga Dia berikan untuk perjanjian-perjanjian lainnya. Tanda dan meterai Perjanjian Abraham, misalnya, adalah sunat (Kej. 17:11; Roma 4:9-12). Kita ingat juga bahwa hari Sabat adalah tanda Perjanjian Musa yang diberikan Allah kepada bangsa Israel (Kel. 31:16-17). Lalu apa tanda yang diberikan Allah kepada seluruh umat manusia dan untuk segala zaman yang akan mengingatkan mereka bahwa Dia tidak akan pernah memusnahkan bumi kembali dengan air bah? Itulah pelangi (ay. 13, 16). Pelangi adalah tanda peringatan kekal, permanen dan jelas akan kasih karunia dan kemurahan ajaib Allah. Mari sejenak kita perhatikan tanda, signifikansi dan kekhidmatan pelangi.

 

PERJANJIAN TUHAN DENGAN TANDA PELANGI

Tanda Pelangi

Kata dalam bahasa Ibrani yang diterjemahkan menjadi busur atau pelangi (bhs. Inggris, bow atau rainbow) adalah geshet yang menyatakan senjata yang sudah sangat tidak asing lagi di zaman kuno. Dari sebanyak 77 kali kata tersebut muncul dalam Perjanjian Lama semuanya menyatakan senjata yang sangat lazim digunakan oleh pemburu (Kej. 27:3) dan prajurit (1 Sam. 31:3) yang menembakkan anak panah (2 Raj. 9:24).

Busur sesungguhnya adalah senjata kuno, yang disebutkan dalam Kitab Suci untuk pertama kalinya dalam Kejadian 21:20 sebagai senjata pilihan Ismail, putra Abraham dari wanita Mesir bernama Hagar. Busur ini merupakan senjata bersasaran jauh [300-400 yard (274-366 m)] yang umum digunakan orang-orang Mesir, Aram (1 Raj. 22:34), Filistin (1 Sam. 31:3), Elam (Yes. 22:6), Lidia (Yer. 46:9), dan terutama orang-orang Ibrani (2 Sam. 1:18), di mana suku Benyamin adalah ahlinya (1 Taw. 8:40). Dalam arti kiasan, busur atau anak panahnya melambangkan kemenangan (Maz. 7:12) dan juga kebohongan dan penipuan (Maz. 63:3-4; Hos. 7:16; Yer. 9:3). Itu juga menggambarkan penyakit atau malapetaka yang didatangkan Allah (Ayub 6:4; Maz. 38:2).

Berbeda dengan senjata, tiga kemunculan kata geshet dalam Kejadian 9:13-16 menyatakan busur yang sangat berbeda, yang bisa disebut “busur Allah”. Setelah sebelumnya menggunakan busur-Nya untuk menimbulkan bencana air bah dalam perang-Nya dengan dunia orang-orang fasik, Allah lalu menjauhkan busur-Nya dan menggantungkannya di langit sebagai gambaran perdamaian. Busur Allah yang menggantung di langit menyatakan kepada dunia pada zaman itu dan untuk sepanjang zaman bahwa Dia tidak akan pernah lagi membinasakan bumi dengan banjir universal.

Juga perlu diperhatikan bahwa Allah mengatakan pelangi bukan hanya mengingatkan kita, tetapi juga mengingatkan-Nya (ayat 16): “Aku akan melihatnya, sehingga Aku mengingat perjanjian-Ku yang kekal”. Yang pasti, ini adalah antropomorfisma yaitu menempatkan sesuatu dalam istilah-istilah atau ketentuan-ketentuan manusia sehingga kita bisa memahaminya. Bukan Allah yang harus mengingat, sebab Dia adalah mahatahu dan karenanya tidak mungkin lupa. Ini tiada lain hanyalah merupakan jaminan lebih lanjut bahwa Ia akan menepati janji-Nya.

Pelangi adalah fenomena yang sungguh-sungguh mengagumkan, indah dan mempesona setiap kali ia muncul. Hujan belum pernah turun sebelum air bah, dan selama itu kabutlah yang membasahi bumi (Kej. 2:5-6). Kalau kabut yang membasahi bumi, atmosfir jelas sangat berbeda pada masa itu, yang tidak memungkinkan terbentuknya pelangi. “Busur-Ku Kutaruh di awan” (ay. 13), menyatakan secara tidak langsung adanya fenomena baru yang dimulai Allah di sini untuk pertama kalinya.

Yang pasti, air bah itulah yang menimbulkan perubahan atmosfir secara drastis. Perubahan tersebut memungkinkan terbentuknya tetes-tetes air jatuh, yang masing-masing membentuk sebuah prisma. Bila sinar matahari menerpa tetesan air hujan, sinar mula-mula dibiaskan begitu memasuki permukaan tetesan air hujan. Kemudian sinar tersebut dipantulkan kembali oleh bagian belakang tetesan, dan dibiaskan sekali lagi begitu sinar tersebut meninggalkan tetesan. Proses ini menguraikan sinar matahari ke dalam aneka warna dari spektrum cahaya. Bila kondisinya tepat – yaitu bila sudut pantul antara sinar matahari, tetesan air dan garis pandangan kita antara 40 dan 42 derajat – tampaklah bagi kita spektrum ini. Menurut Ilmu Fisika kita tahu bahwa spektrum warna yang dihasilkan dari sinar putih (sinar matahari) ada tujuh yaitu: merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu. Kalau kita perhatikan warna pelangi tampaklah ketujuh warna ini tersusun dari bagian paling luar (merah) hingga paling dalam (ungu).

 

Signifikansi Pelangi

Kata pelangi muncul tiga kali dalam Kitab Suci, yaitu satu kali dalam Perjanjian Lama (Yeh. 1:28) dan dua kali  dalam Perjanjian Baru (Wah. 4:3; 10:1). Apabila kita bandingkan semua kemunculan kata pelangi ini dalam Kitab Suci, tampaklah adanya tiga signifikansi yang berlaku pada badai kehidupan yang akan dihadapi orang percaya.

Pertama, Nuh melihat pelangi setelah badai mahadahsyat. Sewaktu badai mengamuk, yang ada di dalam pikiran kita hanyalah mencari tempat perlindungan dan berharap badai tersebut tidak menyebabkan kerusakan serius. Seperti halnya Nuh, kita harus menunggu sampai badai itu berakhir sebelum kita bisa melihat matahari kembali. Kemudian hati kita ditenangkan oleh pelangi bahwa setiap badai sifatnya sementara. Demikian juga badai kehidupan yang kita hadapi hanyalah sementara dan Tuhan tidak pernah membiarkan terjadi badai yang melebihi kemampuan kita untuk melaluinya (1 Kor. 10:13).

Kedua, nabi Yehezkiel melihat pelangi selama badai. Yehezkiel 1-3 mencatat panggilan nabi, yang pertama mendeskripsikan penglihatan-penglihatan yang ia lihat (fasal 1) dan kemudian suara yang ia dengar (fasal 2 dan 3). Tidak ada Kitab Suci yang pernah berusaha mendeskripsikan Allah secara langsung, seperti yang dicatat nabi Yehezkiel, selain hanya dengan menggunakan gambaran-gambaran yang bisa dipahami pikiran manusia. Penglihatan Yehezkiel diawali dengan angin badai dengan api yang berkilat-kilat, yang mempertontonkan kuasa penghakiman dan kemuliaan menyala-nyala Allah (ay. 4). Kemudian muncul empat “makhluk hidup” (ay. 5-14), yang tidak diragukan lagi adalah kerub-kerub (9:3; 10:5, 15, 20), yang senantiasa merupakan perlambang dari kehadiran kudus dan sifat tak-terdekati Allah, seperti yang dituturkan dengan jelas dalam Keluaran 25:10-22 dan Mazmur 80:1. Kemudian, di samping masing-masing kerub ada roda di dalam roda (ay. 15-21), yang tampaknya menggambarkan takhta di atas kereta kuda yang bergerak dan berjalan menuju penghakiman atas Yerusalem.

Yang terakhir, penglihatan ke-empat Yehezkiel (ay. 22-28) mencakup “cakrawala” di atas kepala kerub-kerub yang menyilaukan seperti kristal, “yang menyerupai takhta” dan “seperti rupa manusia” di atas takhta itu, yang tidak lain adalah pra-inkarnasi Anak Allah. Lalu muncullah pelangi, yang “sinarnya” tampak bukan dalam bentuk setengah-lingkaran pelangi biasa, namun “mengelilingi” (sābîb, melingkupi, berkeliling), lingkaran kekal penuh yang mengelilingi “gambar kemuliaan TUHAN” (ay. 28). Yang jelas, Yehezkiel melihat pelangi selama angin badai, pelangi yang tidak sama dengan semua pelangi lainnya. Respon Yehezkiel adalah “bersembah sujud” dalam ketundukan total.

Ketiga, dalam Kitab Suci kita bukan hanya melihat pelangi setelah badai (Nuh) dan selama badai (Yehezkiel), tetapi kita juga melihatnya sebelum badai, seperti yang dinyatakan dalam Perjanjian Baru.

Seperti halnya Yehezkiel, Yohanes mendapat penglihatan tentang takhta Allah di sorga dan menulis, “Dan Dia yang duduk di takhta itu nampaknya bagaikan permata yaspis dan permata sardis; dan suatu pelangi melingkungi takhta itu gilang-gemilang bagaikan zamrud rupanya” (Wah. 4:3). Bahasa Yunani untuk pelangi adalah iris, yang hanya muncul di sini dan dalam Wahyu 10:1. Dalam bahasa Yunani klasik, kata ini menyatakan lingkaran cahaya (halo) yang mengelilingi suatu objek, termasuk iris mata dan lingkaran yang mengelilingi mata bulu-bulu burung merak. Inilah juga asal kata dari iris (bunga iris) dalam bahasa Inggris karena banyak sekali warna ditemukan di antara famili bunga yang terdiri dari 200-300 spesies ini.

Serupa dengan Yehezkiel, Yohanes melihat pelangi mengelilingi takhta Allah, yang menyatan kelengkapan dan kesempurnaan Allah. Pelangi multi-warna ini didominasi oleh hijau zamrud yang menyejukkan. Sebagai lambang kedamaian dan kesetiaan Allah akan janji-janji-Nya, pelangi ini memberi jaminan kepada Yohanes bahkan sebelum penghakiman dahsyat dimulai bahwa sesudah semuanya itu selesai akan ada kedamaian.

Bagi kita orang Kristen, semuanya ini jelas mengingatkan kita bahwa Allah selalu setia pada janji-Nya. Apakah kita melihat pelangi sebelum, selama atau sesudah badai pencobaan, hati kita senantiasa tenang oleh karena “Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu [kita] dalam Kristus Yesus” (Fil. 4:7).

 

Kekhidmatan Pelangi

Sulit kita bayangkan betapa mengharukannya saat pelangi pertama muncul. Juga tidak akan bisa kita pahami sepenuhnya betapa khidmatnya momen tersebut bagi keluarga Nuh. Setelah kemunculan pelangi pertama tersebut, respon pertama mereka sewaktu meninggalkan bahtera adalah beribadah kepada Allah (Kej. 8:20). Mereka memuji Allah atas pembebasan mereka dari kehancuran yang baru saja terjadi dan yang memang tidak bisa dipahami. Dasar dari ibadah tersebut adalah bahwa Allah memberikan janji-Nya dan menggantung tanda jaminan dari-Nya atas janji itu di langit. Kekhidmatan sedemikian memberikan kepada kita setidaknya tiga prinsip dasar.

Pelangi adalah Peringatan akan Kuasa Allah

Setiap kali kita melihat pelangi, kita mengingat air bah. Itu terjadi secara otomatis. Apa yang sesungguhnya kita ingat atau setidaknya harus kita ingat? Kita harus ingat bahwa dalam kemahakuasaan-Nya, Allah membinasakan bumi karena dosa. Karena natur-Nya yang kudus, Allah tidak dapat mentolerir dosa. Pada zaman di mana Allah dipandang sebagai Tuhan yang toleran terhadap apapun termasuk dosa, manusia perlu dihajar dengan murka Allah. Allah yang murka akan menjatuhkan hukuman pada mereka yang menolak-Nya. Seperti di zaman Nuh, Allah berkata “Roh-Ku tidak akan selama-lamanya tinggal di dalam manusia” (Kej. 6:3).

Akan tetapi, kita harus ingat bukan hanya kuasa Allah untuk melaksanakan murka-Nya, tetapi juga kuasa-Nya untuk menyelamatkan. Sebagaimana Ia telah menyelamatkan Nuh dan keluarganya karena mereka percaya dan mematuhi apa yang Ia katakan, Ia juga menyelamatkan orang-orang zaman sekarang yang menerima-Nya sebagai Juruselamat dan Tuhan. Ini juga seharusnya tetap mengingatkan kita akan kasih karunia ajaib Allah. “Tetapi Nuh mendapat kasih karunia di mata TUHAN” (Kej. 6:8). Ternyata, bukan hanya Nuh yang “mendapat kasih karunia” di mata Tuhan dalam Perjanjian Lama. Lot “menerima belas kasihan” di hadapan Allah (Kej. 19:19) dan Musa juga “mendapat kasih karunia” di hadapan Allah (Kel. 33:12-13). Bahkan di dalam murka ada pengampunan dan kasih karunia, dan betapa kita harus bersukacita di dalamnya!

 

Pelangi Mengingatkan Kita akan Tujuan Allah

Kemunculan pelangi kepada Nuh, Yehezkiel dan Yohanes semuanya merupakan tanda pengingat yang kuat bahwa Allah selalu mempunyai tujuan, bahkan di dalam badai. Seperti yang Ia nyatakan kepada Paulus, “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Roma 8:28). Selanjutnya Paulus dalam dua ayat berikutnya menguraikan apa yang disebut dengan “Rantai Emas Keselamatan Allah”: “Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara. Dan mereka yang ditentukan-Nya dari semula, mereka itu juga dipanggil-Nya. Dan mereka yang dipanggil-Nya, mereka itu juga dibenarkan-Nya. Dan mereka yang dibenarkan-Nya, mereka itu juga dimuliakan-Nya”.

Seperti halnya keselamatan kita adalah dengan tujuan mahakuasa Allah, semua badai yang menghadang di jalan kita juga dengan tujuan mahakuasa Allah. Ya, badai akan datang. Seperti halnya Paulus meyakinkan Timotius, “Memang setiap orang yang mau hidup beribadah di dalam Kristus Yesus akan menderita aniaya” (2 Tim. 3:12), tetapi ada alasan atas semua itu. Petrus meyakinkan kita kembali: “Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu  -  yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api  -  sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya. Sekalipun kamu belum pernah melihat Dia, namun kamu mengasihi-Nya. Kamu percaya kepada Dia, sekalipun kamu sekarang tidak melihat-Nya. Kamu bergembira karena sukacita yang mulia dan yang tidak terkatakan” (1 Pet. 1:7-8). Paulus, dengan nada yang sama, menambahkan: “Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita” (Roma 8:18).

 

Pelangi Menentramkan Kembali Hati Kita dengan Damai Sejahtera Allah

Seperti telah disebutkan di atas, pelangi menentramkan hati Nuh, dan sekarang itu menentramkan kembali hati kita, bahwa Allah selalu setia akan janji-Nya. Apakah kita melihat pelangi sebelum, selama atau setelah badai pencobaan, hati kita selalu ditentramkan kembali dengan “Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu [kita] dalam Kristus Yesus” (Fil. 4:7). Seperti yang dinyatakan nabi Yesaya: “Yang hatinya teguh Kaujagai dengan damai sejahtera, sebab kepada-Mulah ia percaya.” (Yes. 26:3).

Yang paling penting di atas semuanya, Tuhan kita meyakinkan kita: “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu” (Yoh. 14:27). Jadi, kita orang Kristen, setiap kali kita melihat pelangi, biarlah kita ingat, diingatkan dan ditenangkan kembali tentang siapa Allah itu dan apa yang Ia janjikan dan lakukan bagi kita.

Comments

Popular posts from this blog

Bersukacita dalam Penderitaan

Jadilah Cerminan Kasih Tuhan

Sehati Sepikir dalam Satu Kasih