Ujian Atas Karakter dan Integritas Kita Dimulai dari Perkara Kecil
UJIAN ATAS KARAKTER DAN INTEGRITAS KITA
DIMULAI DARI PERKARA KECIL
Lukas 16:10-18
Oleh: Pnt. Drs. Beltasar Pakpahan
10 “Barangsiapa setia dalam perkara-perkara
kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar
dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar.
11 Jadi, jikalau kamu tidak setia dalam hal
Mamon yang tidak jujur, siapakah yang akan mempercayakan kepadamu harta yang
sesungguhnya?
12 Dan jikalau kamu tidak setia dalam harta
orang lain, siapakah yang akan menyerahkan hartamu sendiri kepadamu?
13 Seorang hamba tidak dapat mengabdi kepada dua
tuan. Karena jika demikian ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang
lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain.
Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.”
14 Semuanya itu didengar oleh orang-orang
Farisi, hamba-hamba uang itu, dan mereka mencemoohkan Dia.
15 Lalu Ia berkata kepada mereka: “Kamu
membenarkan diri di hadapan orang, tetapi Allah mengetahui hatimu. Sebab apa
yang dikagumi manusia, dibenci oleh Allah.
16 Hukum Taurat dan kitab para nabi berlaku
sampai kepada zaman Yohanes; dan sejak waktu itu Kerajaan Allah diberitakan dan
setiap orang menggagahinya berebut memasukinya.
17 Lebih mudah langit dan bumi lenyap dari pada
satu titik dari hukum Taurat batal.
18 Setiap orang yang menceraikan isterinya, lalu
kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah; dan barangsiapa kawin dengan
perempuan yang diceraikan suaminya, ia berbuat zinah.”
(Lukas 16:10-18)
PENDAHULUAN
Maksud dari pengajaran Kristus dalam Lukas 16 (termasuk nas ini) adalah untuk menyadarkan dan mendorong kita para pengikut-Nya agar memanfaatkan dunia ini tanpa menyalahgunakannya. Untuk itu kita harus mengelola semua milik kita beserta penggunaannya sedemikian rupa sehingga menyelamatkan kita, bukan merongrong kita, di dunia yang akan datang. Ini tergantung pada bagaimana kita memanfaatkan dan menggunakan milik kita sekarang ini di dunia ini.
Yesus dalam nas ini membandingkan masalah kesetiaan dan
ketidaksetiaan. Kalau dalam mengelola harta yang kita miliki di dunia ini saja
kita tidak setia, tentu saja kita tidak layak menerima dan mengelola yang jauh
lebih besar dan mulia, yaitu kasih karunia dari Allah. Sedangkan kesetiaan kita
dalam menggunakan harta milik kita sebenarnya belum menjadikan kita layak
menerima kasih karunia Allah, apalagi ketidaksetiaan kita pastilah membuat kita
kehilangan kasih karunia-Nya, yang sangat kita perlukan untuk kehidupan yang
akan datang.
SETIA DALAM
PERKARA KECIL
Memiliki harta berarti memiliki sebuah tanggung jawab. Tanggung jawab atas penggunaan harta dapat menjadi sebuah ujian terhadap karakter dan integritas kita, dan itu dapat dimulai dari hal kecil. Bila seseorang mampu mengelola dengan benar harta yang dipercayakan dalam jumlah kecil, bukan tidak mungkin ia akan dipercaya juga untuk mengelola harta dalam jumlah besar (ay. 10). Begitupun sebaliknya, bila kita tidak jujur dalam hal-hal kecil, bagaimana mungkin kita bisa dipercaya dalam perkara besar? Selain itu, kesetiaan kita pada harta duniawi dapat menjadi indikasi kesetiaan kita pada harta surgawi yang jauh lebih bernilai. Jika kita sukar dipercaya dalam mengelola harta duniawi, bagaimana mungkin kita bisa dipercaya dalam menangani harta surgawi?
Harta duniawi adalah perkara kecil, sedangkan kasih karunia dan kemuliaan adalah perkara yang lebih besar. Jika kita tidak setia dalam perkara kecil ini, yaitu jika kita menggunakan apa yang ada di dunia ini untuk tujuan yang lain dari yang dimaksudkan untuk kita, maka wajar bila dikhawatirkan kita pun akan melakukan hal yang sama terhadap segala pemberian kasih karunia Allah. Dengan demikian kita sia-sia menerima kasih karunia itu dan karenanya kita akan didiskualifikasi atas segala pemberian itu. Tetapi jika kita setia dalam perkara kecil ini, kita akan bisa dipercaya juga setia dalam perkara besar. Jadi barangsiapa yang mengelola kekayaannya dengan baik untuk kemuliaan Allah, dia juga akan mengelola dengan baik karunia-karunia rohani dan kekayaan surgawi yang lebih bernilai dan lebih mulia untuk kemuliaan Allah.
Harta kekayaan dunia ini sifatnya menipu dan tidak pasti.
Ia adalah Mamon yang tidak jujur. Karena sifatnya yang menipu dan tidak pasti,
maka kita harus berhikmat dalam memanfaatkannya, sebab kalau tidak, bagaimana
mungkin kita bisa berharap untuk dipercayakan dengan harta rohani yang
merupakan harta yang sesungguhnya (ay. 11). Kita harus setia dalam menggunakan
Mamon yang tidak jujur ini untuk tujuan rohani, supaya dengan menggunakannya
dengan baik, kita bisa semakin kaya dalam kasih karunia, dalam iman, dalam
janji-janji Tuhan, dan dalam harta surgawi. Artinya, kepada orang yang setia
dalam hal Mamon yang tidak jujur, Tuhan memberikan harta yang sesungguhnya.
HARTA DARI DUNIA
INI BUKAN MILIK KITA
Harta kekayaan dari dunia ini adalah harta orang lain. Disebut demikian karena ia asing bagi sifat dan kepentingan jiwa kita. Kita memperolehnya dari orang lain dan melepaskannya juga kepada orang lain. Harta tersebut bukanlah milik kita, karena ia adalah milik Allah. Hak kepemilikan Allah atas harta itu melebihi dan mengatasi hak kita atas harta itu. Hak milik ada pada Dia, sedangkan kita hanyalah memakai atau menikmatinya saja.
Harta kekayaan rohani dan harta abadi adalah harta milik
kita, karena masuk ke dalam jiwa kita yang memilikinya dan tidak dapat
dipisahkan. Harta ini menjadi bagian terbaik yang tidak akan pernah diambil
dari kita. Jika kita menjadikan Kristus sebagai milik kita, maka
janji-janji-Nya milik kita dan surga milik kita, maka kitapun memiliki apa yang
benar-benar bisa disebut sebagai harta milik kita. Tetapi bagaimana mungkin
kita dapat berharap Allah akan memperkaya kita dengan semua harta rohani dan
harta abadi ini jika kita tidak melayani Dia dengan harta duniawi kita, yang
atasnya kita ini hanyalah merupakan bendahara saja? Jadi pastikan bahwa seluruh
harta kekayaan yang kita dapatkan, tepatnya yang dipercayakan kepada kita, kita
pakai untuk melayani Dia.
KITA TIDAK DAPAT
MENGABDI KEPADA DUA TUAN
Seorang hamba tidak akan dapat mengabdi kepada dua tuan. Mengapa? Hamba wajib mematuhi apa yang disuruh tuannya, dan perintah-perintah dari dua tuan tidak akan mungkin sejalan satu dengan yang lain. Apalagi kalau yang satunya adalah Allah dan yang lainnya adalah Mamon.
Jika seseorang mencintai Mamon/dunia dan berpegang kepadanya, maka orang tersebut pasti akan membenci Allah dan tidak mengindahkan Dia. Segala sesuatu dari Allah akan dimanfaatkannya untuk membantunya dalam mencari dan melayani dunia. Sebaliknya, jika seseorang berkeinginan mencintai Allah dan mentaati-Nya, maka dengan sendirinya orang tersebut akan membenci dunia (kapan saja ia menemukan Allah dan dunia berada dalam posisi saling bertentangan) dan tidak akan mengindahkannya. Ia akan berusaha dengan cara apa saja menggunakan keuntungan dan keberhasilannya di dunia ini untuk semakin menguatkan keagamaan atau kerohaniannya. Semua hal-hal yang berasal dari dunia ini akan diatur untuk membantunya dalam melayani Allah dan dalam mengerjakan keselamatannya.
Begitu tak sejalannya atau berbedanya kepentingan Allah
dan Mamon/dunia ini sehingga pelayanan kita terhadap keduanya tidak akan pernah
dapat dipadukan. Karena itu, jika kita memutuskan untuk melayani Allah, maka
kita harus menyangkal dan menolak untuk melayani Mamon/dunia.
YESUS MENGUKUHKAN
HUKUM TAURAT
Yesus tidak pernah bermaksud membatalkan hukum Taurat sebagaimana dituduhkan oleh orang-orang Farisi. Yang sebenarnya Yesus tentang adalah hukum seremonial yang selalu ditonjolkan kaum Farisi ini. Namun Yesus tetap melawan segala rancangan yang bermaksud membatalkan hukum moral dari Taurat (ay. 17). Hukum moral ini telah dikukuhkan dan disahkan, dan tidak ada satu titik pun dari hukum tersebut gugur, segala kewajiban yang diatur di dalamnya masih tetap berlaku, serta dosa-dosa yang dilarang di dalamnya masih tetap dilarang. Bahkan lebih dari itu, aturan-aturan di dalamnya lebih dijelaskan dan ditegakkan oleh Injil, dan dapat dibuat menjadi lebih rohani.
Hukum seremonial (yang penuh dengan tata upacara luar
saja) disempurnakan dalam terang Injil. Jadi, tidak satu pun dari hukum Taurat
itu gugur, karena ada tercatat di dalam Injil, dan walaupun kekuatan hukumnya
sudah ditanggalkan di dalam Injil, namun perlambangan yang ada dalam hukum itu
bersinar terang benderang di dalam Injil, seperti yang disaksikan dalam surat
kepada orang Ibrani. Jadi kita harus tetap tunduk kepada hukum moral dari
Taurat dalam segala aspek kehidupan kita, tak terkecuali dalam kehidupan
pernikahan (ay. 18).
REFLEKSI
Menjadi murid Kristus berarti belajar dari nilai-nilai
yang diajarkan Guru. Menjadikan Kristus sebagai Tuhan berarti tunduk di bawah
otoritas-Nya dan melepaskan diri dari kuasa segala sesuatu yang bukan Tuhan,
termasuk uang. Jika Yesus tidak menjadi Tuan kita dalam penggunaan uang, maka
itu berarti membiarkan uang mengambil alih tempat Tuhan dalam hidup kita. Bila
itu yang terjadi, berarti kita telah melakukan hal yang dibenci Allah. Jangan
sampai kita seperti orang Farisi yang menjadi hamba urang dan menganggap bahwa
kekayaan merupakan tanda perkenanan Allah. Jadi pengabdian kita kepada Allah
haruslah dapat dilihat orang dalam kesetiaan kita akan hal-hal sehari-hari di
dunia ini.
Comments
Post a Comment