Tuhan adalah Gunung Batu Perlindunganku

TUHAN ADALAH GUNUNG BATU PERLINDUNGANKU

Mazmur 28:1-9

 

Oleh: Pnt. Drs. Beltasar Pakpahan

 

1  Dari Daud. Kepada-Mu, ya TUHAN, gunung batuku, aku berseru, janganlah berdiam diri terhadap aku, sebab, jika Engkau tetap membisu terhadap aku, aku menjadi seperti orang yang turun ke dalam liang kubur.

2  Dengarkanlah suara permohonanku, apabila aku berteriak kepada-Mu minta tolong, dan mengangkat tanganku ke arah tempat-Mu yang maha kudus.

3  Janganlah menyeret aku bersama-sama dengan orang fasik ataupun dengan orang yang melakukan kejahatan, yang ramah dengan teman-temannya, tetapi yang hatinya penuh kejahatan.

4  Ganjarilah mereka menurut perbuatan mereka dan menurut kelakuan mereka yang jahat; ganjarilah mereka setimpal dengan perbuatan tangan mereka, balaslah kepada mereka apa yang mereka lakukan.

5  Karena mereka tidak mengindahkan pekerjaan TUHAN dan perbuatan tangan-Nya; Ia akan menjatuhkan mereka dan tidak membangunkan mereka lagi.

6  Terpujilah TUHAN, karena Ia telah mendengar suara permohonanku.

7  TUHAN adalah kekuatanku dan perisaiku; kepada-Nya hatiku percaya. Aku tertolong sebab itu beria-ria hatiku, dan dengan nyanyianku aku bersyukur kepada-Nya.

8  TUHAN adalah kekuatan umat-Nya dan benteng keselamatan bagi orang yang diurapi-Nya!

9  Selamatkanlah kiranya umat-Mu dan berkatilah milik-Mu sendiri, gembalakanlah mereka dan dukunglah mereka untuk selama-lamanya.

 (Maz. 18:1-9)

 

PENDAHULUAN

Didiamkan oleh orang yang kita kasihi merupakan pengalaman yang sangat menyedihkan, apalagi bila kita sedang susah dan butuh ditemani. Daud dalam nas ini mengalaminya dalam berelasi dengan Tuhan. Ia merasa Tuhan diam terhadapnya, dan diamnya Tuhan justru ia alami di tengah masa sulitnya, dimana ia berhadapan dengan orang-orang fasik yang nampak ramah di luar tetapi hatinya penuh dengan kejahatan.

 

Saat sepertinya pertolongan Tuhan tak kunjung tiba, serasa ada tangan-tangan jahat sedang berusaha merenggut jiwa kita menuju kebinasaan. Tuhan nampaknya tidak peduli lagi dan membiarkan kita bergelut sendiri dengan persoalan-persoalan yang semakin membelit dan menyesakkan. Saat-saat seperti itu membuat kita merasa berada dalam kegelapan, kehilangan akal, putus asa, dan tidak tahu lagi arah kehidupan. Lalu kita mungkin tergoda untuk mencari pertolongan dari pihak lain bahkan dari allah lain. Kalau kita biarkan diri kita semakin tenggelam dalam keputusasaan, sangat mungkin kita berkompromi dengan dunia yang penuh kemunafikan di sekitar kita.

 

ALLAH SEPERTINYA BERDIAM DIRI

Hidup benar sebagai umat Tuhan yang mendapatkan pengurapan di tengah-tengah orang fasik (ay. 3) sungguh tidak mudah. Apalagi kalau merasa sendirian (ay. 2), akan lebih mudah goyah dan berkompromi dengan kemunafikan. Itulah yang digumuli oleh pemazmur dalam nas ini, dan juga tidak jarang dihadapi oleh orang-orang percaya yang hidup di masa kini.

Pemazmur dalam nas ini merasa dibiarkan sendirian dan seakan-akan Allah tidak peduli terhadapnya. Ia tertekan karena sepertinya Tuhan berdiam diri dan membisu (ay. 1). Dengan membisunya Tuhan, pemazmur merasa dirinya seperti orang yang turun ke dalam liang kubur, yaitu sendirian, terkucil dari orang lain, diselimuti kegelapan, tidak berdaya dan hancur. Dengan kata lain, ia merasa sudah ditinggalkan untuk mati. Ini tergambar dengan jelas dalam pernyataan, “aku menjadi seperti orang yang turun ke dalam liang kubur” (ay. 1).

Akan tetapi dalam kesesakan sedemikian pemazmur tetap menyatakan iman percayanya di  tengah situasi yang sepertinya tidak berpengharapan. Godaan kuat untuk menyerah begitu besar, namun imannya tidak goyah karena ia tahu dan yakin akan pertolongan Tuhan. Ia yakin Tuhan tidak akan membiarkan umat-Nya binasa.

 

HIDUP DI TENGAH-TENGAH KEFASIKAN DAN KEMUNAFIKAN

Kita tidak hidup di dunia yang steril dari dosa. Kita hidup bersama-sama dengan orang-orang yang serakah, yang menghalalkan segala cara, bahkan kalau perlu dengan menjatuhkan orang lain, dengan tujuan untuk memperkaya diri. Bahkan orang-orang sedemikian tidak jarang berlaku ramah di depan umum namun hatinya penuh dengan kejahatan (ay. 3), sungguh sebuah kemunafikan.

Kondisi sedemikianlah yang membuat pemazmur merasa terjepit. Ia berpikir bahwa dirinya bisa saja terseret bersama-sama dengan atau berkompromi dengan orang-orang fasik, sebab jika tidak ikut-ikutan munafik, maka ia akan dilindas habis. Meski sudah berdoa kepada Tuhan dan meminta kekuatan tetapi tampaknya Tuhan tidak segera bertindak. Dengan kondisi terjepit sendirian, pemazmur tidak tahu berapa lama lagi ia bisa bertahan. Namun pemazmur tetap bertahan dan tetap mengharapkan Tuhan mendengar permohonan dan teriakannya minta tolong (ay. 2).

 

TIDAK BERHENTI BERDOA DAN BERHARAP

Apakah pemazmur dalam menghadapi situasi kehidupannya yang berada di tengah-tengah kefasikan dan kemunafikan berpaling kepada allah lain? Tidak. Ia tetap berharap dan percaya kepada Allah, yang ia tegaskan dengan mengatakan, “Kepada-Mu, ya TUHAN, gunung batuku, aku berseru” (ay. 1). Ia tidak berhenti berdoa dan berharap, sekalipun Tuhan belum menjawabnya. Pemazmur percaya bahwa hanya Tuhanlah sumber kekuatan dan kemenangan iman. Dengan kata lain, hanya Tuhanlah yang menjadi gunung batu perlindungannya (ay. 1). Serangan kejahatan yang mematikan dari para musuh tidak akan bisa menembus gunung batu perlindungan.

Pemazmur tetap bertahan dan tetap mengharapkan Tuhan mendengar permohonannya dan teriakannya minta tolong. Oleh sebab itu, pemazmur mengarahkan doa-doanya ke takhta Allah di ruang maha kudus (ay. 2). Ia tetap yakin bahwa tidak ada lagi pertolongan selain dari Allah sebab hidup tanpa penyertaan Allah dan berinteraksi dengan-Nya sama dengan menuju kehancuran (ay. 1). Keyakinannya yang teguh terus mendorong pemazmur tetap memohon kepada Allah untuk mendengar dan menjawab doanya (ay. 2-3). Maka dalam pergumulan itu, ia tidak kehilangan keyakinan bahwa Tuhan pasti akan menjawab dan menolongnya (ay. 6-7).

 

MEMOHON KEADILAN TUHAN

Keyakinan pemazmur yang tetap teguh kepada Allah juga termanifestasikan dalam permohonannya agar Allah mau terlibat langsung dalam persoalan yang sedang terjadi (ay. 4-5). Permohonannya ini jangan disalahtafsirkan sebagai usahanya untuk membalas dendam, namun hendaknya dimaknai sebagai kepeduliannya terhadap keadilan di dunia dan terlebih lagi terhadap Nama Allah di dunia. Pemazmur tidak rela jika dunia melihat bahwa kehidupan orang yang mengikut Allah dan yang tidak mengikut Allah ternyata sama.

Sejatinya, pemazmur memohon keadilan Tuhan agar orang-orang yang melakukan kejahatan dihukum setimpal (ay. 4-5). Permohonan ini sangat realistis karena bila dibiarkan, kefasikan dan kemunafikan mudah menjalar. Pemazmur merasa bahwa ia bisa terseret jatuh ke dalam dosa yang sama (ay. 3). Dengan sendirinya, hal sedemikian akan menjadi kesaksian yang buruk bagi umat Tuhan (ay. 9).

 

TETAP BERSYUKUR

Memang tidak ada penjelasan yang pasti mengapa Allah nampaknya membisu dan membiarkan pemazmur sendirian. Mungkin pemazmur tidak perlu tahu atau tidak boleh tahu, namun yang jelas pemazmur tahu dan perlu tahu bahwa hal itu tidak untuk selamanya. Allah pasti akan menolongnya. Didorong oleh keyakinan seperti inilah ratapan dan teriakan minta tolong pemazmur berubah menjadi pujian dan sukacita. Pemazmur memanjatkan ucapan syukur seakan Tuhan sudah mendengar permohonannya dan sudah menolongnya (ay. 6-7).

Terjadi perubahan dari kecemasan menjadi kegembiraan pada diri pemazmur. Hati pemazmur sedang beria-ria penuh nyanyian syukur atas pertolongan Allah. Pemazmur memuji Tuhan dan bersyukur kepada-Nya karena ia yakin Tuhan telah mendengar suara permohonannya (ay. 6). Hatinya sangat percaya bahwa Tuhan pasti menolongnya (ay. 7), dan tidak selamanya ia dibiarkan berada dalam situasi terjepit yang menyesakkan.

 

REFLEKSI

Ada saat dimana kita begitu lemah, tidak punya apa pun dan siapa pun untuk memfasilitasi dan menolong kita menghadapi kesulitan. Disaat seperti itulah kita dapat mengandalkan Allah sebagai Penolong, sebagai gunung batu dan benteng perlindungan. Sekalipun tampaknya Allah seakan-akan membisu dan membiarkan kita menghadapi pergumulan kita sendirian, namun kita boleh meneladani Daud yang tetap bertekun dalam doa dan tidak berhenti berharap kepada Tuhan. Dengan demikian kita tidak sampai terseret jatuh ke dalam kefasikan dan kemunafikan yang menghimpit kita di dunia ini.

Dikala kesesakan begitu tidak tertahankan, godaan untuk menyerah begitu kuat, ingatlah akan doa Tuhan Yesus, “…bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi”. Jangan melihat ke situasi yang mencekam, lihatlah kepada Kristus yang sudah menang mengatasi godaan itu. Tetaplah berdoa dan berseru walaupun nampaknya Allah membisu atau berdiam diri, sebab meninggalkan Allah jauh lebih fatal daripada perasaan ditinggalkan. 

Comments

Popular posts from this blog

Bersukacita dalam Penderitaan

Jadilah Cerminan Kasih Tuhan

Sehati Sepikir dalam Satu Kasih