Perkawinan, Perzinahan dan Pengampunan
Perkawinan, Perzinahan Dan Pengampunan
Dalam Perjanjian Lama Dan Perjanjian Baru
Disusun dari berbagai sumber oleh: Pnt. Drs. Beltasar Pakpahan
Kita tahu dengan sangat jelas bagaimana Yesus menangani kasus
perzinahan yang dibawa ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi kepada-Nya.
Tetapi mungkin kita bertanya, apakah
dalam menangani perkara tersebut Yesus mengacu kepada ketetapan-ketetapan
hukuman terhadap perzinahan dalam Perjanjian Lama. Dalam Perjanjian Lama terdapat banyak
ketetapan hukum yang mengatur tentang kasus perzinahan yang terkait dengan atau
yang mengganggu perkawinan. Berkenaan dengan hal inilah tulisan ini dipresentasikan
dalam tiga subjudul utama:
(1) ketetapan-ketetapan Perjanjian Lama tentang perkawinan dan perzinahan; (2)
penggunaan perkawinan sebagai metafora hubungan Israel dan TUHAN; dan (3) Yesus
dan wanita yang tertangkap basah berzinah. Ketiga bagian ini saling terkait di
mana bagian pertama akan membahas hukum Perjanjian Lama tentang perkawinan dan
prinsip-prinsip di baliknya, sementara bagian kedua dan ketiga akan berupa
contoh teks Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang ada baiknya dibaca
berdasarkan kesimpulan yang dapat diambil
dari ulasan tersebut.
1. Ketetapan Perjanjian Lama Tentang Perkawinan dan Perzinahan
Tidak sulit mengasumsikan bahwa karena persamaan sekilas antara perkawinan seperti yang tampak dalam konteks Perjanjian Lama dan perkawinan seperti yang tampak di masyarakat modern dewasa ini. Pemahaman tentang institusi ini dalam kedua konteks juga serupa. Akan tetapi tidaklah persis demikian halnya. Yang jelas dalam kedua konteks, perkawinan bisa didefinisikan sebagai penyatuan yang diakui secara hukum dari satu pria dan satu wanita sebagai pasangan seumur hidup Tetapi dasar pemikiran dan kerangka konseptual di balik penyatuan sedemikian dalam konteks kuno berbeda dalam beberapa hal yang signifikan dari penyatuan zaman modern.
Ide masyarakat modern dewasa ini tentang perkawinan semakin dipengaruhi konsep hak-hak yang sama bagi semua orang yang merupakan tonggak utama masyarakat kita, dan walaupun akan merupakan kebodohan dan ketidakbenaran nyata mengatakan bahwa dari sudut pandang masyarakat modern sekarang ini perkawinan dikonsepsikan dan dijalankan sebagai kemitraan yang sama, namun umumnya tidak salah mengatakan bahwa, setidaknya di mata hukum, pria dan wanita dewasa dianggap sama di mana mereka mempunyai hak yang sama dalam menentukan nasib sendiri dan dalam menempuh jalur hukum untuk mendapatkan perlindungan dan keadilan.
Akan tetapi, ini merupakan skenario yang sangat berbeda dari skenario yang dibentuk oleh prinsip-prinsip yang mengatur perkawinan di masyarakat dan yang menentukan kerangka hukum Perjanjian Lama tentang perkawinan. Sekarang ini sudah umum diterima para ahli alkitabiah, terutama di lingkungan antropologi dan gerakan wanita, bahwa Perjanjian Lama mencerminkan masyarakat di mana seksualitas perempuan berada di bawah kendali dari dan atas penentuan laki-laki. Dan salah satu tempat di mana ini bisa dilihat dengan sangat jelas adalah dalam materi hukum yang terkait dengan perkawinan, perzinahan dan perceraian.
Rangkaian ketetapan yang paling luas tentang hal ini ditemukan dalam kitab Ulangan, di mana dalam kitab ini terdapat beberapa kumpulan ketetapan-ketetapan yang relevan: Ulangan 22:13-29; 24:1-4 dan 25:5-10.
Dalam Ulangan 23:13-19 terdapat apa yang bisa disebut hukum tentang perilaku seksual, dan ini jelas mencerminkan konsep dominasi laki-laki dalam masalah seksualitas. Fitur yang paling menonjol adalah bahwa bilamana terjadi penyatuan seksual yang tidak teratur, keparahannya dinilai, dan ganti rugi dijatuhkan, menurut pihak laki-laki yang dilanggar.
Ini dibuktikan oleh dua fakta: pertama, tidak ada di dalam Perjanjian Lama di mana pihak yang melanggar disebutkan sebagai pihak laki-laki, sementara dalam setiap kasus, status perkawinan wanitalah yang dijahuti hukuman; dan kedua, sekalipun wanita yang tidak menikah yang dilanggar namun pihak laki-lakilah yang mendapat ganti rugi, yaitu ayahnya. Dengan demikian, pria yang memfitnah mempelai wanitanya dengan tuduhan palsu bahwa ia tidak perawan harus memberi ganti rugi kepada ayah si wanita atas fitnah tersebut (22:13-19), dan mempelai wanita yang sudah tidak perawan dilempari dengan batu di depan pintu rumah ayahnya untuk menegaskan bagaimana si wanita telah membuatnya malu (22:20-21). Begitu wanita menikah (atau bertunangan, yang sifatnya mengikat sama dengan perkawinan), ia terikat dengan suaminya dalam segala masalah aktivitas seksual, dan jika wanita yang sudah menikah atau bertunangan ditemukan bersama pria lain maka keduanya dihukum mati (Ulangan 22:22-24; bandingkan Imamat 20:10).
Sekali lagi, dasar pemikiran hukum mencakup rujukan kepada pihak laki-laki yang dilanggar (22:23); si pria dihukum mati bukan karena ia telah mengganggu wanita tersebut, melainkan karena ia telah mengganggu isteri dari pria lain. Akan tetapi, di mana pria menggauli anak perawan yang tidak terikat dan kasusnya terungkap, maka hukuman yang dijatuhkan bukan hukuman mati untuk keduanya; namun, si pria harus menikahi si wanita tanpa adanya kemungkinan perceraian (Ulangan 22:28-29; bandingkan Keluaran 22:16-17 [Ibrani 14-15]). Inti dari ketetapan ini adalah bahwa anak perawan yang direnggut keperawanannya sangat tidak mungkin bisa menemukan suami, dan situasi ini menggambarkan satu kerugian keuangan bagi ayahnya yang tidak akan menerima mas kawin atas dirinya dan harus terus menerus menjadi tanggungannya. Karenanya, mengawinkannya dengan pria yang telah mengganggunya adalah cara meringankan efek kerugian sedemikian, betapapun tidak diinginkannya persesuaian. Fakta bahwa si pria mungkin sudah menikah tidak penting, karena poligami diperbolehkan (bandingkan Ulangan 21:14-17; 1 Samuel 1:1-2).
Contoh lebih lanjut dalam kitab Ulangan tentang kendali yang diklaim laki-laki atas seksualitas perempuan adalah dalam hukum perceraian (Ulangan 24:1-4) dan apa yang disebut dengan perkawinan ipar (Ulangan 25:5-10). Sepanjang menyangkut perceraian, itu tampaknya merupakan hak prerogatif laki-laki; tidak ada hukum yang setara yang memungkinkan wanita menceraikan suaminya. Tidak ada diberikan indikasi tentang latar belakang atas mana perceraian dianggap sah, di luar fakta bahwa suami menemukan ‘ketidaksenonohan’ pada isterinya. Tidak mungkin bahwa ini akan disebut ketiadaan kemurnian seksual, karena hukuman atasnya akan berupa hukuman mati dan bukan perceraian; akan tetapi, di luar itu adalah sesuatu yang sangat sepele pada mana suami mendapat pengecualian. Kebiasaan perkawinan ipar lebih menyangkut pelestarian garis keturunan pria dan harta benda pria ketimbang tentang kontrol atas seksualitas perempuan. Ada upacara umum mempermalukan pelamar yang tidak rela, bukan atas dasar kegagalannya memberikan kesejahteraan kepada si wanita, melainkan atas dasar kegagalannya membangun keturunan saudaranya di Israel (Ulangan 25:9-10).
Perundang-undangan Imamat kurang komprehensif dalam cakupannya atas perkara-perkara perkawinan, dan hanya mengatur masalah perzinahan dan dugaan perzinahan di dalam perkawinan yang sudah terbentuk. Akan tetapi, cakupannya di bidang ini menunjukkan jenis sikap yang sama terhadap seksualitas perempuan dengan yang ditemukan dalam Ulangan. Seperti halnya dalam Ulangan, perzinahan terdiri dari hubungan seksual antara wanita yang sudah menikah dan pria lain selain dari suaminya, dan kedua belah pihak bisa dihukum mati (Imamat 20:10); dan seperti halnya ketetapan-ketetapan Ulangan untuk perceraian, pemeriksaan atas dugaan perzinahan (Bilangan 5:11-31) adalah hak prerogatif ‘pria saja’. Pria yang mencurigai isterinya tidak setia berhak membawanya ke depan imam dan mengharuskannya menjalani ritual yang berdasarkan hasilnya akan memastikan apakah kecurigaannya itu tidak berdasar. Jika berdasar – yaitu, jika hasil ritual menguatkan kecurigaannya – tidak ada kata kembali bagi isteri, tidak ada penebusan kesalahan.
Dengan memperhatikan ini semua, tampak sangat jelas bahwa ciri utama dari hubungan perkawinan Israel adalah ketidaksamaan mendasar antara pihak laki-laki dan pihak perempuan yang terlibat di dalamnya. Hak laki-laki atas seksualitas perempuan berarti bahwa wanita berada dalam posisi lebih rendah dan tergantung, dan walaupun isteri jelas bukan budak, isteri tidak bebas menentukan nasib sendiri dengan cara suaminya menentukan nasib sendiri, karena hak atas seksualitas orang lain bisa dilaksanakan hanya dengan mengorbankan otonomi pribadi individu tersebut. Hasilnya adalah bahwa dimungkinkan berbicara tentang standar ganda yang tampak dengan sendirinya, terutama di bidang kebiasaan-kebiasaan seksual. Perilaku seksual yang dapat diterima untuk pria akan menuai kutukan berat bila dipraktekkan wanita.
Keinginan untuk mengontrol seksualitas perempuan ini bersumber dari struktur patriarchal masyarakat Israel, yang didasarkan pada prinsip bahwa otoritas ada di tangan laki-laki sang kepala rumah tangga. Jadi, karena pria merupakan kelas penguasa, kebutuhan dan keinginannyalah yang menentukan struktur dan adat istiadat masyarakat. Pada pokoknya ada tiga faktor yang bisa dikutip sebagai yang berada di balik sikap sedemikian terhadap wanita. Pertama, Israel dikenal sebagai masyarakat ‘bibit pria’; dengan kata lain, tidak ada konsep anak merupakan produk dari gamet laki-laki dan gamet perempuan. Kedua, di masyarakat di mana satu-satunya konsep kehidupan setelah kematian adalah konsep keduniawian – yaitu, kelangsungan hidup silsilah keluarga dan bukan silsilah individu – pria sangat perlu mempunyai anak laki-laki agar supaya mereka, sebagai penanam benih, bisa melanjutkan silsilah keluarganya. Ketiga atau terakhir, pada masyarakat patriarchal, elemen penting dari pria adalah memegang kontrol terhadap wanita atas siapa ia bertanggungjawab, baik untuk melindungi diri si wanita dari pengaruh berbahaya maupun untuk menghasilkan kepatuhannya kepada pria.
Dari sudut pandang struktur dan
sikap masyarakat sedemikian, dimungkinkan mengajukan penjelasan atas
signifikansi ucapan, ‘Demikianlah harus
kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu’, yang muncul disela-sela
perundang-undangan kitab Ulangan. Ungkapan ini biasanya muncul setelah adanya
pernyataan bahwa hukuman mati pantas
untuk kejahatan tertentu, dan dalam konteks hukum perkawinan dan perzinahan,
ungkapan ini muncul dalam hukum yang mengatur pelanggaran seksual yang
dilakukan wanita untuk mana hukumannya adalah hukuman mati bagi si wanita. Ini
berlaku dalam kasus wanita yang ternyata tidak perawan di malam pertama (Ulangan 22:21), dan di mana wanita yang
sudah menikah atau bertunangan ditemukan bersama pria lain selain dari suami
sahnya secara hukum (Ulangan 22:22,24).
Akan tetapi, hal yang sama tidak berlaku pada kasus pria yang dianggap bersalah
mengganggu wanita yang sudah bertunangan di mana wanita itu sendiri dianggap
tidak bersalah (Ulangan 22:25-27).
2. Penggunaan Perkawinan sebagai Metafora Hubungan
antara TUHAN dan Israel
Ide ‘TUHAN adalah suami dari bangsa-Nya, Israel’ jelas merupakan salah satu metafora paling emotif dalam Perjanjian Lama. Sekilas ini tampak semata-mata mengisyaratkan rasa kelengkapan, temuan identitas baru dan saling mengasihi – gambaran yang jelas dikuatkan metafora Perjanjian Baru untuk ‘Jemaat sebagai mempelai wanita Kristus’, yang dibeli dengan darah-Nya, disucikan dan ditempatkan dengan cemerlang tanpa cacat (Efesus 5:25-27). Kajian yang cermat tentang cara dengan mana metafora perkawinan digunakan dalam Perjanjian Lama menunjukkan nada yang sangat berbeda dari ideal idilis gambaran Perjanjian Baru, dan jauh dari gambaran positip, metafora perkawinan Perjanjian Lama hampir seluruhnya negatip dalam aplikasinya.
Paparan konsisten pertama yang dapat diidentifikasi tentang metafora perkawinan ada dalam tulisan Hosea. Seperti yang telah diketahui dengan jelas, Hosea 1-3 adalah sejenis ‘campur-sari perkawinan’, yang terdiri dari apa yang tampaknya merupakan sisa-sisa biografi (otobiografi?) tentang hubungan Hosea dengan isteri (atau isteri-isteri) yang tidak setia (1:2-9; 3:1-3), di salah satu sisi pasal pidato puitis tajam di mana kemurtadan Israel menjauh dari TUHAN diungkapkan dalam bentuk perkawinan yang hancur karena ketidaksetiaan isteri (2:2-13 [Ibrani 2:4-15]). Metafora perzinahan dan pelacuran digunakan dengan sangat bebas dalam fasal-fasal pembuka ini untuk menggambarkan tindakan Israel yang tanpa malu dan dengan terang-terangan meninggalkan Allah untuk beribadat kepada Baal.
Kira-kira satu abad kemudian Yeremia, dengan rasa malapetaka yang bakal segera menimpa kerajaan Yehuda di selatan, menangkap gambaran yang digunakan Hosea, dan memercikkannya di sepanjang tudingannya terhadap teman-temannya. Bagi Yeremia, bangsa itu bukan hanya merupakan isteri yang tidak setia (Yeremia 3:20) tetapi pelacur gila yang mau tidur dengan siapa saja (Yeremia 2:23-25; 3:1-3, 6-13). Seperti halnya dengan Hosea, juga ada tawaran pertobatan yang terkandung di dalam metafora (3:12-13), tetapi ancaman hukuman dari tangan yang sama dengan Dia yang dapat memberi pengampunan tampak sama jelasnya (13:22, 26-27).
Akan tetapi, hal yang sama tidak
berlaku pada metafora seperti yang muncul dalam Yehezkiel. Kira-kira sepuluh
tahun setelah peringatan Yeremia, hukuman yang ia peringatkan menjadi
kenyataan: bangsa
Versi metafora perkawinan ini
mungkin didasarkan pada Hosea 2,
tetapi jauh lebih tak kenal kompromi. Berbeda dengan Hosea 2, di mana pemulihan adalah penciptaan kembali kebahagiaan
baru antara suami dan isteri (2:16-23
[Ibrani 2:18-25]), pemulihan dalam
Yehezkiel tampaknya akan digunakan sebagai cara lebih lanjut mengukuhkan
kembali
Pada masing-masing nas ini, metafora isteri yang tidak setia atau wanita pelacur digunakan untuk menyampaikan pesan kekecewaan mendalam tentang apa yang dianggap para nabi sebagai kemurtadan agama dan politik Israel. Penggunaan sedemikian mengingkari konsepsi metafora perkawinan sebagai metafora hal yang manis dan terang dan cinta dan kesetiaan.
Mungkin tampak agak asing bagi pembaca masa sekarang bahwa apa yang mungkin layak diperkirakan merupakan gambaran kesetiaan dan komitmen harus digunakan dengan cara yang kasar dan tanpa kompromi ini. Akan tetapi, dari sudut pandang materi hukum yang telah dikaji, penggunaan sedemikian pastilah tidak aneh. Ulasan atas hukum tentang perkawinan dan perzinahan menunjukkan bahwa hukum tersebut timbul dari masyarakat di mana perkawinan merupakan perjanjian yang mengikat antara dua pihak yang tidak sama, di mana pihak yang lebih lemah (perempuan) berada pada posisi di bawah dari dan tergantung pada pihak yang lebih kuat (laki-laki).
Seperti yang diketahui dengan
jelas, keyakinan bahwa pakta (atau perjanjian) sedemikian ada antara TUHAN dan
Israel terbukti di sepanjang Perjanjian Lama, dengan pengungkapannya yang
paling jelas dan paling berkembang dalam kisah di Sinai (Keluaran 19-24) dan dalam kitab Ulangan. Karenanya, hubungan
perkawinan menjadi metafora yang tepat untuk hubungan TUHAN-Israel karena kedua
hubungan dipandang sebagai mengikat secara hukum dan keduanya eksis antara pihak-pihak
yang tidak setara; sebagaimana suami memiliki otoritas atas isterinya, demikian
pula TUHAN memiliki otoritas atas bangsa Israel.
3. Yesus dan Wanita Yang Tertangkap Melakukan Zinah
Seorang wanita yang tertangkap
melakukan perzinahan dibawa ke depan Yesus oleh ahli-ahli Taurat dan kaum
Farisi, dan Yesus mengatakan bahwa hukum Musa mengharuskan agar mereka
melemparinya dengan batu (Yoh. 8:3-11).
Ada tiga pihak yang terlibat dalam situasi sebagaimana dipresentasikan kepada Yesus. Mungkin yang jelas paling sulit adalah bahwa hanya dua di antara pihak-pihak yang terlibat yang benar-benar ada, yaitu wanita dan para penuduhnya. Pihak ketiga – yaitu, pria dengan siapa wanita diduga tidur bersama – tidak ada di sana, dan memang ia bahkan tidak pernah disebut-sebut. Jika memang ini benar-benar merupakan kasus perzinahan, dan si wanita memang tertangkap basah sedang melakukan perzinahan, maka bukan hanya dirinya tetapi juga pasangannya harus dilempari dengan batu. Yang jelas, menurut hukum tidak ada kasus di mana si wanita saja yang akan dilempari dengan batu atas pelanggaran seksual kecuali dalam kasus mempelai yang tidak perawan (Ulangan 22:13-21), dan bukan skenario ini yang diajukan kepada Yesus.
Kembali kepada si wanita, beralasan kiranya untuk bertanya apakah ia memang bersalah dengan cara yang bisa diakui menurut gagasan modern tentang pelanggaran-hukum seksual. Jika wanita yang sudah menikah ditemukan bersama pria lain selain dari suaminya, maka fakta yang sesungguhnya bahwa ia terlibat secara seksual dengan pria lain sudah cukup untuk memastikan hukuman atasnya, terlepas dari bagaimana keterlibatan tersebut sampai bisa terjadi. Jika wanita yang dibawa kepada Yesus sudah menikah dan bukan hanya bertunangan, seperti yang tampaknya paling mungkin, maka tidak akan ada pertanyaan yang menanyakan apakah pria dengan siapa ia tertangkap basah memaksanya atau tidak. Ia akan dianggap bersalah terlepas dari keadaan hubungan gelap itu.
Dengan tidak jelasnya situasi tersebut, maka tidak heran bahwa Yesus menolak menjatuhkan hukuman dalam waktu sekejap. Namun, ketika Ia akhirnya tidak menjawab, itu menggarisbawahi ketidakjelasan dengan membalikkan fokus dari wanita kepada para penuduhnya. Sampai sejauh ini, ketidakhadiran pasangan si wanita dalam perzinahan menyebabkan segala hal negatif terfokus pada wanita itu sendiri, dalam usaha membangkitkan kemarahan dan reaksi mendadak yang benar terhadap kejahatannya.
Tetapi jawaban Yesus pada akhirnya membalikkan sorotan menjauh dari si wanita dan mengarahkannya tepat kepada kaum Farisi dan ahli Taurat: siapa di antara mereka yang tidak berdosa boleh menjadi yang pertama melemparkan batu. Seperti yang umum diamati, ucapan Yesus merupakan variasi atas hukuman mati dengan dilempari batu dalam Ulangan. Hukum agaknya dimaksudkan untuk melindungi tertuduh dari eksekusi yang salah; menurut hukum Yahudi pada masa itu saksi yang memulai pelemparan batu akan mempaparkan dirinya pada pembalasan darah apabila kesaksian yang diberikannya terbukti palsu, dan karenanya dengan menyerahkan kepadanya tanggungjawab memulai eksekusi adalah cara menguji keabsahan dari kesaksiannya.
Bila tindakan Yesus dipandang dari sudut pandang ini, tampak jelas bahwa Ia bukan hanya melepaskan wanita yang bersalah dari kail yang mungkin dianggap sebagai cara yang kurang memuaskan. Yesus justru menggunakan perangkat hukum yang tersedia bagi-Nya untuk mencegah salah-pelaksanaan keadilan. Ia memukul para penuduh dengan menggunakan permainan mereka sendiri, dan mengungkapkan fakta bahwa walaupun mereka mengaku menjunjung tinggi hukum, sayangnya, mereka sesungguhnya menyalahgunakannya.
Sebagai alternatip, jika kasusnya dirancang untuk memastikan bahwa ada saksi, bisa saja dibayar seorang pria untuk menggoda si wanita dan kemudian muncul sebagai saksi atas si wanita. Ini akan menjelaskan mengapa pasangannya gagal dibawa ke depan hakim, atau bahkan gagal muncul dalam skenario. Tetapi juga ada kemungkinan, dan merupakan hal yang mungkin paling menarik dari segi sifat ketidakjelasan cerita, bahwa tidak ada saksi atas tindakan perzinahan, dan bahwa si wanita dituduh dan benar-benar dihukum atas dasar kabar angin atau kecurigaan.
Dalam kasus ini, tidak ada asumsi yang bisa diajukan tentang apakah si wanita bersalah atau tidak bersalah atas kejahatan yang dituduhkan kepadanya; yang jelas, ini menyisakan kemungkinan yang sangat nyata tetap terbuka bahwa ia bersalah seperti yang dituduhkan. Tetapi jawaban Yesus mengindikasikan bahwa tidak dapat diterima menghukum seseorang dengan hukuman mati hanya berdasarkan kabar angin, sekalipun orang tersebut adalah wanita yang melakukan zinah yang menimbulkan ancaman terhadap ketertiban masyarakat.
Episode tersebut secara
keseluruhan begitu mengesankan dan karenanya tidak jelas sehingga
memungkinkannya masuk dalam banyak bacaan yang berbeda. Akan tetapi, apa yang tampak
jelas adalah bahwa si wanita adalah korban, yang terjebak di antara permainan
kekuasaan pria lain. Ia bukan hanya dijadikan bertanggungjawab atas apa yang
secara hukum bukan tanggungjawabnya. Ia dijadikan
bertanggungjawab untuk menjebak Yesus agar memberikan jawaban yang tidak
mendukung, terlepas dari apakah si wanita itu sendiri mungkin melakukannya atau tidak melakukannya atau
mengalaminya. Karena itu, insiden ini bisa dipandang sebagai contoh sikap yang
telah diungkapkan di atas dalam Perjanjian Lama, dengan jalan mana kehormatan
dan status pria tergantung pada kontrolnya atas wanita, dan cara untuk
menyerang pria lain adalah menyerang wanitanya.
Kesimpulan
Hukum Perjanjian Lama tentang
perkawinan, perzinahan dan perceraian, penggunaan metafora perkawinan (yang
hancur) antara TUHAN dan bangsa-Nya, dan cerita tentang wanita yang tertangkap
melakukan perzinahan semuanya perlu dipahami atas dasar sifat androsentris
(pengutamaan kepentingan atau sudut pandang laki-laki) dari masyarakat
alkitabiah. Bila dipandang dari perspektif sedemikian, dimungkinkan memahami
nuansa arti yang jika tidak demikian akan tersembunyi, dan terutama dalam
mengetahui bagaimana arti sepenuhnya dari teks ini tergantung pada pandangan
rendah terhadap wanita dan seksualitasnya.
Comments
Post a Comment