Iman Tanpa Syarat
IMAN TANPA SYARAT
Oleh: Pnt. Drs. Beltasar Pakpahan
13 Sesudah itu Nebukadnezar memerintahkan dalam
marahnya dan geramnya untuk membawa Sadrakh, Mesakh dan Abednego menghadap.
Setelah orang-orang itu dibawa menghadap raja,
14 berkatalah Nebukadnezar kepada mereka: “Apakah
benar, hai Sadrakh, Mesakh dan Abednego, bahwa kamu tidak memuja dewaku dan
tidak menyembah patung emas yang kudirikan itu?
15 Sekarang, jika kamu bersedia, demi kamu
mendengar bunyi sangkakala, seruling, kecapi, rebab, gambus, serdam dan
berbagai-bagai jenis bunyi-bunyian, sujudlah menyembah patung yang kubuat itu!
Tetapi jika kamu tidak menyembah, kamu akan dicampakkan seketika itu juga ke
dalam perapian yang menyala-nyala. Dan dewa manakah yang dapat melepaskan kamu
dari dalam tanganku?”
16 Lalu Sadrakh, Mesakh dan Abednego menjawab
raja Nebukadnezar:”Tidak ada gunanya kami memberi jawab kepada tuanku dalam hal
ini.
17 Jika Allah kami yang kami puja sanggup
melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala
itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja;
18 tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku
mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan
menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu.”
(Daniel 3:13-18)
PENDAHULUAN
Pilih yang mana: sembah patung atau mati? Bagi Sadrakh,
Mesakh dan Abednego, menyembah patung tidak akan menjadi pilihan mereka. Meski
untuk itu mereka bukan hanya menghadapi risiko kehilangan jabatan, melainkan
juga kehilangan nyawa. Padahal banyak orang yang rela melakukan apa saja demi
mempertahankan nyawa. Malah demi sebuah jabatan, banyak orang rela menjual
imannya. Bagi ketiga rekan Daniel ini, meskipun Tuhan tidak melepaskan mereka
dari perapian yang menyala-nyala, menyembah patung tidak akan pernah menjadi pilihan
mereka. Umat yang setia tidak akan gentar sekalipun menghadapi banyak
tantangan, bahkan jika hal itu berisiko pada kematian. Inilah yang ditunjukkan
dalam nas ini.
TUDUHAN TERHADAP
SADRAKH, MESAKH DAN ABEDNEGO
Ritual untuk penyembahan patung emas yang baru didirikan raja Nebukadnezar ramai dilakukan oleh penduduk Babel. Setiap kali bunyi sangkakala, seruling, kecapi, rebab, gambus, serdam dan berbagai-bagai jenis bunyi-bunyian terdengar, semua orang datang untuk sujud menyembah patung itu (ay. 5-7). Ternyata tidak semua warga Babel menaati perintah yang dikeluarkan raja untuk penyembahan patung tersebut, sebab ada orang-orang tertentu yang menolak untuk menyembah patung itu.
Beberapa orang Kasdim memanfaatkan kesempatan itu untuk
melaporkan kepada Raja Nebukadnezar tentang orang-orang Yahudi yang tidak
menyembah dewa yang baru ditahbiskannya. Orang Kasdim adalah sebutan bagi
mereka yang bekerja di tempat peribadatan dewa Babel. Dalam ritual penyembahan
para dewa, mereka berkata, “Ya raja,
kekallah hidup tuanku” (ay. 9). Dengan ucapan ini figur Nebukadnezar
dijadikan sesembahan dan dipuja sebagai ‘Yang kekal’. Dalam laporannya, orang
Kasdim menyampaikan bahwa Sadrakh, Mesakh dan Abednego adalah orang-orang
Yahudi yang sengaja membangkang titah raja (ay. 12).
KEGERAMAN DAN
KEMARAHAN RAJA
Raja Nebukadnezar marah besar mendengar laporan orang Kasdim kepadanya, dan dalam marahnya dan geramnya ia memberikan perintah untuk menangkap Sadrakh, Mesakh dan Abednego (ay. 13). Seharusnya ia tidak heran mendengar bahwa ketiga orang ini sekarang tidak menyembah dewa-dewanya, sebab ia tahu betul bahwa mereka ini tidak pernah menyembah dewa. Namun demikian, ketika amarah raja sudah menyala-nyala, ketiga orang Yahudi ini pun dibawa menghadap raja, dan kemudian raja menyampaikan tuduhan kepada ketiga orang itu dengan singkat, dan terserah kepada mereka apakah mereka bersedia taat atau tidak.
Raja bertanya kepada mereka apakah benar mereka tidak
menyembah patung emas seperti yang lain (ay. 14). Ini bisa dipahami bahwa raja ingin tahu apakah
tindakan ketiga teman Daniel ini memang sudah direncanakan dengan sengaja, atau
hanya karena kecorobohan. Jika mereka telah dengan sengaja tidak mau menyembah
patung emas, bisa saja setelah berpikir ulang, mereka berubah pikiran. Raja
bersedia memberi mereka kesempatan baru. Namun, raja sudah berketetapan bahwa
apabila mereka bersikeras menolak, maka mereka akan langsung dicampakkan
seketika itu juga ke dalam perapian yang menyala-nyala. Mereka tidak akan mendapatkan
penangguhan hukuman satu jam pun. Jadi, hanya ada dua pilihan: berbalik atau
hangus.
PENOLAKAN KOMPROMI
Dengan ketenangan hati dan kepala dingin, Sadrakh, Mesakh dan Abednego memberikan jawaban yang sudah mereka putuskan untuk diikuti kepada raja. Mereka tidak menampik untuk menjawab raja, atau menutup mulut. Sebaliknya, dengan baik-baik mereka berkata kepadanya bahwa mereka tidak mempermasalahkan hukuman raja. Mereka berketetapan hati untuk tidak menaati perintah itu, sedangkan raja sudah bulat hati bahwa mereka harus mati apabila tidak mau taat. Jadi, perkaranya sudah ditentukan sehingga untuk apa lagi diperdebatkan? Artinya di sini mereka menolak untuk mengkompromikan iman apapun risikonya.
Ini menyangkut masalah hidup dan mati. Hidup lebih
diinginkan, sedangkan kematian terasa menakutkan. Namun, ketika dosa dan
kewajiban ibadah yang menyangkut perkara yang telah ditetapkan langsung dalam
perintah Allah yang kedua, dan tidak ada lagi ruang untuk mempersoalkan mana
yang benar, maka hidup dan mati tidak perlu dipertimbangkan lagi. Jadi, orang
yang hendak menghindari dosa, janganlah bertanya jawab dengan pencobaan. Jangan
berlama-lama di sekitar godaan itu, tetapi katakanlah seperti yang diajarkan
Kristus kepada kita, Enyahlah Iblis.
Dan orang yang mengutamakan kewajiban ibadah tidak perlu mengkhawatirkan
kejadian yang sedang dialaminya.
IMAN SEJATI
Keyakinan Sadrakh, Mesakh dan Abednego kepada Allah dan ketergantungan mereka kepada-Nya tampak jelas dari pernyataan mereka kepada raja (ay. 17). Mereka percaya kepada Allah yang hidup, dan dengan iman itu mereka memilih lebih baik menderita daripada berbuat dosa. Itulah sebabnya mereka tidak takut akan murka raja, tetapi tetap bertahan, sebab dengan iman mereka memusatkan pandangan kepada Dia yang tidak kelihatan (Ibr. 11:25,27).
Jika memang harus dicampakkan ke dalam perapian yang
menyala-nyala karena tidak mau menyembah dewa-dewa raja, ketiga teman Daniel
dalam nas ini sangat yakin Allah akan melepaskan mereka. Alasan mereka untuk
berharap Allah akan melepaskan mereka adalah karena Nebukadnezar telah
menantang Dia untuk melakukannya dengan mengatakan “Dewa manakah yang dapat melepaskan kamu dari dalam tanganku?” (ay.
15). Adakalanya Allah tampil dengan luar biasa untuk membungkam hujatan musuh,
sekaligus untuk menjawab doa-doa umat-Nya (Mzm. 74:18-22; Ul. 32”27).
KETEGUHAN HATI DAN
KESETIAAN TANPA SYARAT
Dengan keteguhan hati yang luar biasa, Sadrakh, Mesakh dan Abednego mempertahankan asas yang mereka anut, apapun akibatnya (ay. 18). Mereka bertiga mau mengatakan bahwa: Seandainya Allah memandang tidak layak untuk melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala ini, meskipun kita tahu Ia mampu melakukannya, seandainyapun Ia mengizinkan kami jatuh ke dalam tanganmu, dan celaka oleh tanganmu, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa-dewa ini, meskipun mereka adalah dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas ini, meskipun tuanku sendiri yang telah mendirikannya.
Jawaban yang diberikan ketiga teman Daniel ini kepada
raja menunjukkan bahwa kesetiaan dan iman mereka kepada Allah adalah tanpa
syarat. Terlepas dari apakah Allah melepaskan atau tidak melepaskan mereka dari
tangan raja dan dari perapian yang menyala-nyala, namun mereka tetap taat dan
beriman kepada Allah. Mereka tidak mau ataupun takut mengakui agama kepercayaan
mereka, dan langsung mengatakan kepada raja bahwa mereka tidak takut kepadanya,
tidak bersedia mematuhinya.
REFLEKSI
Kisah Sadrakh, Mesakh dan Abednego meneguhkan kita. Tidak
ada alasan bagi kita untuk kompromi dan menjual iman kita. Betapapun tuntutan
zaman maupun tekanan politik mendesak kita, kita harus tetap berjalan lurus di
dalam iman kepada Kristus. Bahkan jika itu berisiko nyawa kita. Kita harus
beriman bahwa Allah kita adalah Yang Mahakuasa, yang pasti dapat melepaskan
kita dari mara bahaya apapun. Namun, kita tidak boleh mendikte dan memaksa
Allah untuk menolong kita seperti yang kita inginkan. Dalam hal ini kita juga
harus menguatkan hati kita dan bersedia membayar harga jika ternyata Allah
berkehendak lain. Kiranya Allah memampukan kita untuk setia dan rela melewati
apapun karena kita hendak menyembah dan memuliakan Dia.
Comments
Post a Comment